RN - Hubungan Taiwan dan China naik turun. Kali ini militer Taiwan menyatakan dalam keadaan "waspada" setelah sebuah kapal induk China terlihat berlayar ke selatan wilayah mereka pada hari Minggu (13/10).
Presiden Taiwan Lai Ching-te menyampaikan dalam pidato di Hari Nasional di mana ia bersumpah untuk melawan aneksasi China.
Beijing sendiri menanggapi pidato tersebut dengan mengatakan bahwa "provokasi" Lai Ching-te akan mengakibatkan "bencana" bagi Taiwan.
BERITA TERKAIT :Kapal China Cari Ribut, Masuk Laut Natuna Utara Lalu Diusir Bakamla
Taiwan dalam keadaan "waspada" karena mendeteksi sebuah kapal induk China di selatannya pada hari Minggu (13/10), berdasarkan laporan kementerian pertahanan pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu.
"Kelompok kapal induk Liaoning China telah memasuki perairan dekat Selat Bashi dan kemungkinan akan melanjutkan perjalanan ke Pasifik barat," kata Kementerian Pertahanan Taiwan dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir France24, Minggu (13/10).
"Kami tetap waspada, siap untuk menanggapi seperlunya," tambah pernyataan tersebut.
China telah meningkatkan aktivitas militer di sekitar Taiwan dalam beberapa tahun terakhir, mengirimkan pesawat tempur dan pesawat militer lainnya, sementara kapal-kapal China mempertahankan kehadiran yang hampir konstan di sekitar perairannya.
Deteksi kapal induk Liaoning terjadi setelah Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken memperingatkan China pada hari Jumat (11/10) agar tidak mengambil tindakan "provokatif" apa pun terhadap Taiwan, menyusul pidato Presiden Taiwan Lai Ching-te selama perayaan Hari Nasional pulau itu sehari sebelumnya.
Lai, yang disebut China sebagai "separatis", bersumpah pada hari Kamis (10/10) untuk "menolak aneksasi" pulau itu, dan menegaskan Beijing dan Taipei "tidak tunduk satu sama lain". China memperingatkan setelah pidato itu bahwa "provokasi" Lai akan mengakibatkan "bencana" bagi rakyat Taiwan.
Konflik Panjang
Konflik antara China dan Taiwan sudah terjadi lama. Dikutip dari beberapa sumber, kemenangan Partai Komunis China memaksa kubu Chiang Kai-shek dan sisa-sisa Partai Nasionalis Tiongkok (Kuomintang) melarikan diri ke Taiwan.
Sejak itulah pulau Formosa diperintah oleh rezim pemerintahan Kuomintang dengan nama resmi Republic of China (ROC).
Kuomintang dan ROC resmi mengalihkan kedudukan dari China daratan ke pulau Taiwan, tanggal 7 Desember 1949. Chiang Kai-shek memimpin Taiwan selama 25 tahun hingga dia tutup usia pada 5 April 1975.
Sementara itu, setelah memenangkan perang sipil melawan Kuomintang, partai komunis pimpinan Mao Zedong mendirikan Republik Rakyat China. Negara ini hingga sekarang tidak mengakui ROC di Taiwan sebagai pemerintahan yang merdeka.
Konflik berkepanjangan yang sampai sekarang belum selesai itu terjadi karena kedua kubu punya sikap berkebalikan. ROC menganggap pemerintahannya di Taiwan adalah sah sebagai negara.
Di sisi lain, Republik Rakyat China tetap bersikukuh menganggap Taiwan adalah provinsinya. Republik Rakyat China berpijak pada sejarah setelah Perang Dunia II yang menunjukkan wilayah itu bagian pemerintahan Tiongkok.
Sebaliknya, ROC juaga memakai dalih sejarah sebagai dasar eksistensinya. Mereka merujuk pada sejarah bahwa sebelum 1949, Taiwan tidak pernah menjadi wilayah negara Tiongkok modern, yang didirikan pada 1911 setelah revolusi penggulingan Dinasti Qing, kecuali sejak 1945.
ROC pun beralasan bahwa Taiwan tidak pernah menjadi bagian dari Republik Rakyat Tiongkok yang didirikan oleh Mao Zedong pada 1949, demikian mengutip ulasan di bbc.com.
RRC menuding Taiwan sebagai provinsi pemberontak. Kubu Beijing juga tetap menghendaki agar Taiwan bersatu dengan Tiongkok daratan. RRC tidak leluasa menginvasi Taiwan karena mayoritas negara barat, terutama AS, menentang pendekatan militer.
Pemukim pertama Taiwan adalah orang-orang suku Austronesia, yang diperkirakan berasal dari Cina Selatan. Pulau itu pertama kali muncul dalam catatan Tiongkok pada 239 M, ketika seorang kaisar mengirim pasukan ekspedisi untuk menjelajahi daerah tersebut.
Taiwan atau Formosa sempat menjadi pangkalan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1624-1661. Namun, sejak tahun 1683 hingga 1895, Taiwan dikuasai oleh Dinasti Qing.
Sejak abad ke-17, mengutip Britannica, para pendatang dari Tiongkok mulai banyak berdatangan ke Taiwan, termasuk mereka yang melarikan diri dari konflik maupun kekacauan politik.
Sebagian besar pendatang itu merupakan orang Tionghoa Hoklo dari provinsi Fujian (Fukien) atau Tionghoa Hakka dari Guangdong. Keturunan mereka kini mendominasi populasi di Taiwan.
Kekuasaan Dinasti Qing berakhir menjelang abad 19. Pada 1895, Kekaisaran Qing kalah di perang Cina-Jepang pertama sehingga harus menyerahkan Taiwan kepada Kaisar Meiji.
Setelah Perang Dunia Kedua, Jepang menyerah dan melepaskan kendali atas wilayah yang telah diambilnya itu. Republik China (ROC) mulai memerintah Taiwan dengan persetujuan dari AS dan Inggris sejak 1945.
ROC merupakan nama negara Tiongkok modern yang berdiri pada 1912 dan mewarisi sebagian besar wilayah Kekaisaran Dinasti Qing.
Setelah perang saudara di Tiongkok daratan dimenangkan oleh Partai Komunis China pada 1949, sekitar 1,5 juta pendukung Partai Kuomintang yang dipimpin Chiang Kai-shek lari ke Taiwan. Lalu, mereka membentuk pemerintahan ROC yang mengelola Formosa dan beberapa pulau di sekitarnya.
Berdasarkan catatan Lindsay Maizland di CFR (Council on Foreign Relations), kelompok dari partai Kuomintang mendominasi politik Taiwan selama beberapa dekade. Padahal, populasi mereka cuma 14 persen dari mayoritas penduduk pulau tersebut.
Setelah Chiang Kai-shek berkuasa selama 25 tahun di Taiwan dan meninggal pada 1975, Yen Chia-kan mengisi kursi presiden selama 2 tahun. Baru pada tahun 1978, putra Chiang Kai-shek, yakni Chiang Ching-kuo menduduki posisi itu hingga 1988.
Berkebalikan dengan sang ayah yang diktator, Chiang Ching-kuo mengizinkan demokratisasi jalan di Taiwan. Keputusannya bukan tanpa alasan. Saat ia berkuasa, gerakan demokrasi berkembang di Taiwan dan mendesak agar pemerintahan otoriter diakhiri.
Namun, perubahan besar menuju demokrasi baru terjadi setelah Chiang Ching-kuo mangkat. Pada masa Presiden Lee Teng-hui (1988-2000) perubahan konstitusi dilakukan sehingga memungkinkan bagi politikus non-Kuomintang menjadi pemimpin pemerintahan.
Perubahan ini membuat Lee Teng-hui dianggap sebagai "bapak demokrasi" Taiwan. Setelah Teng-Hui lengser, Chen Shui-bian menjadi presiden Taiwan pertama yang bukan politikus Kuomintang.
Chen Shui-bian yang berasal dari Partai Progresif Demokrat berkuasa selama tahun 2000-2008 di Taiwan. Kuomintang sempat kembali berkuasa ketika Ma Ying-jeou menjabat presiden pada 2008-2016.
Namun, kursi presiden kembali dimenangkan oleh Partai Progresif Demokrat ketika Tsai Ing-wen terpilih di pemilu 2016. Tsai Ing-wen yang merupakan presiden perempuan pertama di Taiwan itu masih berkuasa hingga tahun 2022 ini.
Hingga saat ini, meskipun Taiwan memiliki pemerintahan yang otonom, sistem demokrasi berjalan, dan angkatan bersenjata dengan 300-an ribu tentara aktif, ia belum jadi negara yang diakui secara luas di dunia internasional. Ini artinya status hukum Taiwan pun belum jelas.
Sampai 2022, mengutip data di laman Kementerian Luar Negeri Taiwan, baru ada 14 negara yang mengakui negara itu. Mayoritas merupakan negara kecil dengan wilayah kepulauan.
Daftar 14 negara yang mengakui kemerdekaan Taiwan adalah Kepulauan Marshall, Republik Nauru, Palau, Tuvalu, Eswatini, Belize, Republik Guatemala, Haiti, Republik Honduras, Paraguay, St. Lucia, Federasi Saint Kitts dan Nevis, Saint Vincent dan Grenadines, dan Vatikan.
Taiwan hingga kini juga belum menjadi anggota PBB. Pemerintahan ROC di Taiwan era Chiang Kai-Shek memang sempat menjadi anggota PBB dan mewakili seluruh China. Saat itu, selepas perang saudara di Tiongkok, negara-negara barat hanya mengaku ROC dan bukan RRC sebagai anggota di Dewan Keamanan PBB.
Namun, awal dekade 1970-an dukungan internasional beralih ke RRC yang dianggap menjadi wakil sebenarnya dari ratusan juta penduduk di Tiongkok daratan. Maka itu, sejak tahun 1971, ROC tak lagi berada di PBB. Posisi ROC di Dewan Keamanan PBB digantikan oleh RRC sebagai representasi pemerintahan Beijing.
Sejak saat itu hingga sekarang Republik Rakyat Tiongkok selalu menolak partisipasi Taiwan sebagai anggota PBB, badan-badan PBB, maupun organisasi internasional lainnya. Pengaruh kuat RRC dan hak veto milik negara itu di PBB membuat Taiwan terkucil secara internasional.
Sekalipun demikian, Taiwan tercatat menjadi anggota di 40-an organisasi yang mayoritas berada di level regional. Misalnya, Bank Pembangunan Asia dan forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik.