RADAR NONSTOP - Kasus kepemilikan gedung DPD Partai Golkar Kota Bekasi di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Bekasi Selatan kembali masuk pengadilan.
Kuasa hukum DPD Partai Golkar Kota dan Kabupaten menggugat kepemilikan kantor DPD Golkar tersebut.
Gugatan tersebut sudah diserahkan kepada Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi, pada hari Kamis (5/3/2020) lalu.
BERITA TERKAIT :Dosen Ngaku Korban Konten Porno Nagdu Ke PWI Kota Bekasi
Ogah Hadir HUT Golkar, Darah Uu Gak 100 Persen Beringin Dan Gak Serius Maju Jadi Wali Kota Bekasi
Kuasa hukum mengajukan gugatan karena tergugat atau pembeli yaitu Andy Iswanto Salim dan Simon S.C Kitono dianggap melawan hukum.
Menurut penggugat, pembeli tidak beritikad baik. Sebab, objek yang diperjualbelikan bukan milik penggugat dalam hal ini penjual, namun transaksi tetap berlangsung.
Hal ini berdasarkan temuan kesimpangsiuran status kepemilikan obyek sengketa, yakni Akta Peningkatan Jual Beli (APJB) Nomor 26 tertanggal 25 Oktober 2004.
"Telah menemukan keterangan di dalamnya yang isinya saling bertentangan satu sama lainnya, sehingga menimbulkan kecurigaan atau keragu-raguan siapa sebenarnya pemilik tanah yang menjadi objek jual beli ini, maka hal tersebut menjadi kerangka konsep," kata Kuasa Hukum DPD Golkar Kota dan Kabupaten Bekasi, Naupal Al Rasyid, kemarin.
Dirinya menjelaskan, ada beberapa fakta hukum di antaranya APJB yang dibuat di hadapan turut tergugat, yakni notaris terbukti cacat hukum, lantaran tidak terpenuhinya syarat objektif berupa kesepakatan. Dalam penyusunan APJB tersebut, diharapkan dasar kepemilikan tanah bisa disempurnakan.
Namun hingga saat ini, kata dia, belum terjadi, dan transaksi ini dianggap tidak sesuai dengan Undang-undang Pokok Agraria.
"Dalam hal ini terbukti bahwa karena para penggugat tidak pernah merasa sebagai pemilik objek sengketa, bahkan transaksi terus dilanjutkan, padahal kemudian ternyata objek sengketa tersebut bukan milik para penggugat (penjual), sebagaimana yang telah dituangkan dalam poin-poin Akta Pengikatan Jual-Beli," terangnya.
Dalam berkas gugatannya, pada penggugat meminta untuk dikabulkan gugatan seluruhnya.
Kedua, menyatakan PT Kedaung Inti Makmur sebagai pemilik yang sah atas tanah seluas 795 meter persegi tersebut.
Ketiga, mengatakan para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum terhadap para penggugat.
Keempat, menyatakan APJB tahun 2004 lalu batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Kelima, menyatakan putusan akta perdamaian batal demi hukum, dan tidak memiliki kekuatan hukum serta tidak dapat dieksekusi.
Keenam, menyatakan turut tergugat tunduk, menaati dan melaksanakan isi putusan ini.
Ketujuh, menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi berupa biaya analisa dan kajian hukum tentang penjelasan yuridis sebesar Rp 500 juta, membayar ganti rugi atas kredibilitas para penggugat yang dinilai berkurang di tengah masyarakat sebesar Rp 2 miliar, dan membuat pernyataan maaf secara tertulis atas tercemarnya nama baik para penggugat.
Kedelapan, menyatakan dengan itikat baik para penggugat untuk uang yang telah diterima kepada tergugat sebesar Rp 2.435.000.000 yang akan dibebankan ketentuan bunga bank sebesar 10 persen.
Dua tuntutan terakhir menyatakan putusan tersebut dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun verzet, banding, kasasi, atau upaya hukum lainnya, dan terkahir menghukum para tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini.
Tanggapan Tergugat
Menanggapi tuntutan ini, Tergugat Andy Iswanto Salim menyebut bahwa dirinya siap untuk menghadapi tuntutan tersebut. Ia mengaku pada saat terjadi transaksi jual-beli, tanah tersebut milik DPD Golkar.
"Oh tidak begitu, satu dunia ini pun tahu kalau gedung itu milik mereka, yang kedua di BPN pun itu milik mereka, ketiga kalau mereka tidak merasa memiliki mengapa mereka jual?," ujar Andi Salim seraya bertanya.
Ia menyebut ini sudah ketiga kalinya ia menghadapi gugatan yang diajukan oleh DPD Golkar, namun sudah inkrah untuk dilakukan perdamaian.
"Ini apa bukan sebuah tindakan bunuh diri, apa ini bukan tindakan yang mempermalukan diri sendiri oleh karena pemikiran yang ngaco. Putusan pengadilan yang merupakan perdamaian itu, bukan di bawah tangan tapi putusan pengadilan yang sudah pernah digugat lagi untuk dibatalkan," pungkasnya.