RN - Urgensi State Responsibility Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Para Pekerja Migran Perempuan Dari Kemungkinan Tindak Kekerasan Selama Pandemi Covid-19. Penulis Gilang Esa Mohamad S.IP, Mahasiswa Program Magister Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP-UI).
Kemunculan Pandemi Covid-19 yang mengguncang dunia sejak akhir tahun 2019 silam secara garis besar telah menimbulkan berbagai dampak terhadap peradaban masyarakat global, tak terkecuali dalam aspek ketenagakerjaan. Hal ini mengingat adanya tren perubahan secara fundamental dari cara-cara kerja yang konvensional menjadi cara-cara kerja baru yang serba berbasiskan pada media digital yang dewasa ini lebih dikenal dengan istilah bekerja dari rumah atau Working From Home (WFH).
Selain itu, tren perubahan lainnya yang juga mencuat selama pandemi Covid-19 juga tidak dapat dilepaskan dari bayang-bayang ancaman akan adanya pemutusan hubungan kerja yang membuat meningkatnya angka pengangguran di banyak negara secara pesat. Terlebih, hal tersebut secara khusus kemudian turut berdampak terhadap eksistensi para pekerja migran perempuan di banyak negara mengingat mayoritas pekerjaan yang dimiliki relatif rentan akan risiko pemutusan hubungan kerja dan tindak kekerasan
BERITA TERKAIT :Bahaya Trauma, Presenter Presenter MotoGP Akui Kekerasan Fisik Muncul Dari Orang Dekat
Bully Di Sekolah Jakarta Marak, Kekerasan Antar Siswa Bikin Ngeri
Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh United Nations (UN) Women di Eropa dan Sentral Asia melalui data Rapid Gender Assesment (RGA) yang menunjukkan sekitar 15 persen pekerja migran perempuan harus kehilangan pekerjaannya. Selain itu, data tersebut juga mengungkapkan temuan lain dimana sekitar 41 persen pekerja migran perempuan harus mengalami penurunan upah yang diterima dimana hal itu justru tidak berbanding lurus dengan pengurangan jam dan beban kerja yang dimiliki. Alhasil, kondisi inilah yang kemudian mencerminkan adanya fenomena shadow pandemic dimana terjadi peningkatan kekerasan terhadap perempuan secara drastis khususnya selama pandemi Covid-19.
Adapun, risiko dan kerentanan lain yang harus dihadapi oleh para pekerja migran perempuan selama pandemi Covid-19 khususnya yang berasal dari negara-negara ASEAN seperti Indonesia setidaknya dapat dijabarkan menjadi beberapa hal. Pertama, adanya kemungkinan peningkatan risiko kekerasan, pelecehan serta eksploitasi di lingkungan kerja yang harus dihadapi oleh para pekerja migran perempuan yang masih bekerja. Kedua, adanya kerentanan bagi para perempuan purna pekerja migran akan tindakan kekerasan dan pelecehan saat dalam perjalanan pulang maupun saat berada di tempat-tempat yang menjadi fasilitas karantina bagi mereka yang terinfeksi virus Covid-19.
Ketiga, adanya risiko tindakan kekerasan dari pasangan terhadap pekerja migran perempuan akibat meningkatnya stres dan terjadinya kemerosotan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Keempat, adanya kecenderungan yang menunjukkan bahwa para pekerja migran perempuan relatif mengalami kesulitan untuk dapat memperoleh akses terhadap layanan-layanan sosial dan kesehatan sehingga membuat mereka relatif rentan dengan sejumlah penyakit, seperti depresi, ketakutan, gangguan tidur, hingga perilaku-perilaku menyimpang, seperti bunuh diri hingga penyalahgunaan zat-zat terlarang, seperti narkotika. Kelima, adanya kerentanan para pekerja migran perempuan terhadap praktikpraktik diskriminatif yang secara konkret dapat merenggut hak-hak yang seharusnya mereka peroleh. Sedangkan terakhir, ditandai dengan berkembangnya narasi-narasi yang menganggap bahwa para pekerja migran perempuan sebagai pembawa virus sehingga membuat mereka kerap menjadi pihak-pihak yang disalahkan.
Dalam hal ini, adanya kerentanan-kerentanan tersebut kemudian mencerminkan bahwa kondisi para pekerja migran perempuan di negara-negara ASEAN kerap termarginalkan dan kian memprihatinkan. Padahal sebagaimana diungkapkan oleh Spotlight Initiative, jumlah para pekerja migran perempuan di negara-negara ASEAN sebelum pandemi Covid-19 mencapai hingga 50 persen dari total keseluruhan pekerja migran yang berjumlah 10 juta jiwa.
Bahkan, kontribusi yang mereka hasilkan dalam mengirimkan bagian pendapatannya dinilai relatif jauh lebih besar ketimbang para pekerja migran laki-laki. Lebih lanjut, adanya kerentanan-kerentanan yang harus dialami oleh para pekerja migran perempuan di negara-negara ASEAN tersebut kemudian dapat turut dijadikan sebagai rujukan dalam menjelaskan kondisi para pekerja migran perempuan di Indonesia.
Hal ini sebagaimana turut didukung dengan data yang dirilis oleh UN Women dan Women Count yang menunjukkan beberapa indikator dalam menilai kondisi pekerja migran perempuan di Indonesia. Pertama, perempuan di Indonesia dinilai sangat bergantung pada pendapatan yang diperoleh dari usaha keluarga dan mencuatnya pandemi Covid-19 dianggap telah mengurangi besaran pendapatan tersebut hingga 82 persen untuk perempuan dan 80 persen untuk laki-laki. Kedua, adanya pandemi Covid-19 dianggap memiliki potensi yang dapat membahayakan keamanan pangan bagi sekitar 76 persen perempuan dan 78 persen laki-laki.
Ketiga, risiko kesehatan mental yang dirasakan oleh perempuan mencapai hingga 57 persen dalam hal peningkatan stres dan kecemasan. Keempat, meningkatnya tanggung jawab perempuan terhadap pendidikan anak yang mencapai hingga 39 persen. Kelima, risiko akan peningkatan intensitas pekerjaan rumah tangga tak berbayar yang harus dialami sekitar 19 persen perempuan dan 11 persen laki-laki. Keenam, risiko peningkatan kebutuhan akan air bersih dan masakan rumah yang dialami oleh sekitar 22 persen perempuan dan 16 persen laki-laki. Ketujuh, adanya kerentanan perempuan terhadap guncangan di pasar tenaga kerja khususnya bagi para pekerja informal yang dialami oleh sekitar 36 persen perempuan karena mereka harus mengurangi waktu kerja berbayar mereka.
Kedelapan, adanya risiko kehilangan akses terhadap transportasi yang harus dialami oleh sekitar 51 persen perempuan dan 45 persen laki-laki. Kesembilan, adanya kerentanan yang mendorong dilakukannya migrasi internal akibat kehilangan pekerjaan dan pemotongan waktu kerja yang harus dialami oleh 13 persen perempuan dan 6 persen laki-laki. Sedangkan terakhir ditandai dengan adanya risiko berupa tantangan untuk melakukan rutinitas kesehatan yang harus dihadapi oleh 56 persen perempuan ketimbang 45 persen laki-laki.
Dengan merujuk pada kondisi-kondisi tersebut setidaknya dapat dikatakan bahwa para pekerja migran perempuan relatif rentan terhadap tindak kekerasan selama mewabahnya pandemi Covid-19. Adapun, hal tersebut setidaknya perlu mendapatkan perhatian yang serius dari negara yang secara normatif merupakan institusi yang paling bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan terhadap para pekerja migran khususnya para pekerja migran perempuan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Harold J. Laski yang menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk menciptakan keadaan yang memungkinkan rakyatnya dapat mencapai keinginan-keinginannya secara maksimal.
Terlebih, hal tersebut juga diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang menyebutkan bahwa salah satu agenda dari pembangunan nasional adalah untuk dapat menghadirkan kembali peran negara dalam melindungi segenap bangsa serta memberikan rasa aman pada seluruh warganya dimana salah satunya dapat diwujudkan dengan memberikan perlindungan terhadap hak dan keselamatan pekerja migran melalui sasaran utama yang hendak diwujudkan, yakni untuk menurunkan jumlah pekerja migran yang menghadapi masalah-masalah hukum baik di dalam negeri maupun luar negeri.