MAHKAMAH Konstitusi jumawa dan sukses menggagalkan upaya untuk mengubah Presidential Threshold 20 persen.
Belasan gugatan dikalahkan dengan narasi berbeda tetapi substansi sama yaitu pihak tidak kompeten atau tidak memiliki legal standing.
Menurut MK, yang berhak menggugat hanya partai politik atau gabungan partai politik.
BERITA TERKAIT :Koalisi Masyarakat Sipil: Media Asing Soroti Putusan MK Jadi Basis Nepotisme dan Dinasti Politik
Presiden Jokowi Paling Bertanggungjawab atas Terjadinya Krisis Konstitusi
Dugaan MK tidak independen dan menjadi pelayan kekuasaan telah terbaca sejak MK berhasil memenangkan Jokowi dalam gugatan Pilpres 2019.
Kemudian MK putuskan UU UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang COVID-19 untuk diberi kesempatan dua tahun.
Begitu juga dengan UU Cipta Kerja yang sudah jelas bertentangan dengan Konstitusi ternyata masih diberi waktu hingga dua tahun juga. MK menjadi Majelis Kompromistis.
Semua gugatan Presidential Threshold dibabat habis. Meskipun demikian gugatan terhadap Pasal 222 UU no 7 tahun 2017 terus berlanjut.
Setelah terakhir gugatan DPD RI tidak diterima dengan alasan tidak memiliki legal standing, maka berikutnya adalah kegagalan dari PBB. Padahal Ketum PBB Yusril Ihza Mahendra dikenal sebagai ahli hukum tatanegara yang biasa memenangkan perkara.
Kini masuk gugatan lagi dari partai politik PKS.
Ketika masuk pada substansi persoalan ketidakadilan PT 20 persen yang banyak pihak dirugikan hak konstitusionalnya serta hanya menguntungkan segelintir kelompok politik, maka MK betul-betul diuji akan obyektivitas pemeriksaannya.
Rakyat melakukan penilaian apakah MK memang sebuah lembaga Peradilan atau lembaga politik. Jika MK tidak lain adalah lembaga politik yang berbaju hukum maka perlu evaluasi tentang keberadaannya. MK patut didesak untuk segera dibubarkan.
Jika saja gugatan PKS diterima dan dikabulkan baik seutuhnya atau sebagian, maka MK tidak lagi klise memutuskan. Bisa tiga kemungkinan, yaitu:
Pertama, mengabulkan gugatan PT menjadi 0 persen. Ini artinya MK kalah atau mengalah. Menyadari perasaan keadilan masyarakat yang sulit untuk dibendung. Apalagi Ketua MK kini mesti diganti berdasarkan Putusan MK pula.
Kedua, seperti biasa MK yang ambigu dan tidak bisa lepas dari kendali kekuasaan oligarki, maka keterpaksaan menerima PT 0 persen akan diikuti dengan syarat ditunda keberlakuan PT 0 persen tersebut untuk Pemilu 2029. Alasannya adalah waktu Pilpres 2024 yang sebentar lagi.
Ketiga, bisa terjadi pengurangan dari PT 20 persen menjadi 10 persen atau lebih kecil. Ini bila ada itikad baik untuk “win-win solution” sebagai bentuk kepedulian pada kuatnya aspirasi yang menggugat PT 20 %.
Bila putusan ini yang diambil, maka akan terjadi perubahan pada konfigurasi dari koalisi partai politik saat ini.
Gagalnya PBB membuat Yusril berang. Ia menyebut penolakan MK atas gugatan PT 20 persen sebagai tragedi demokrasi. Menurutnya, MK bukan pengawal dari konstitusi tetapi 'the guardian of oligarchy'.
Jadi teringat dulu saat Yusril berada di belakang MK saat memenangkan Jokowi. Ini kan rezimnya Jokowi yang oligarki itu, Pak. Syukurlah kalau kini pak Yusril sudah sadar dan tobat.
Kita rindu ucapan Pak Yusril “Presiden itu, orangnya goblok. Tetapi segoblok-gobloknya dia, dia itu Presiden”.
Setuju pernyataan Yusril Ihza bahwa MK itu bukan pengawal konstitusi tetapi “the guardian of oligarchy” pengawal oligarki. Dan oligarki itu tidak lain adalah rezimnya Jokowi.
Hebat juga ungkapan Ketua DPD LaNyalla Mattalitti dari Mekkah:
“Saya bakal memimpin sebuah gerakan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat atas negara ini. Karena negeri ini harus kembali di tangan rakyat sebagai pemilik negara yang sah. Dan kita tidak boleh dibiarkan oligarki menguasai negeri”.
Lawan oligarki. Merdeka.
M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan