RN - Upaya berbagai elemen bangsa untuk memperbaiki sistem politik dan demokrasi di Indonesia terus berlanjut.
Kali ini dilakukan oleh partai politik yang mempunyai kursi di DPR yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang secara resmi mendaftarkan gugatan uji materi presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota DPD RI Fahira Idris yang juga sempat mengajukan gugatan presidential threshold ke MK menilai langkah PKS menggugat Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi penting dan strategis. Hal ini mengingat sesuai keputusan MK hanya partai politik pemegang legal standing gugatan ambang batas.
BERITA TERKAIT :Target 10 Kursi PPP Jakarta Ambyar, Gerbong Syaiful Rachmat Harus Dibongkar?
Jadi Parpol Gurem, PPP Gelar Doa Untuk Buang Sial?
Fahira berharap, gugatan yang dilayangkan PKS itu menjadi isyarat terutama untuk para hakim MK bahwa ambang batas 20 persen pencalonan presiden sudah menjadi keresahan publik.
“Hampir semua elemen masyarakat sudah mengajukan gugatan ambang batas pencalonan presiden 20 persen ini. Dari warga negara biasa, aktivis, civil society, intelektual, senator, bahkan diaspora Indonesia yang tersebar di 12 negara dan kini parpol yang ada di parlemen," terang Fahira.
"Ini artinya ambang batas pencalonan presiden 20 persen memang sebuah masalah besar bagi negeri ini," tegasnya.
Pilpres dan Pileg yang digelar serentak, membuat ambang batas pencalonan presiden 20 persen dinilai tidak lagi mempunyai relevansi, urgensi dan tidak punya legitimasi karena didasarkan hasil pemilu lima tahun lalu.
"Saya doakan, ikhtiar yang dilakukan PKS ini membuah kebaikan bagi negeri ini,” ujar Fahira.
Menurut Fahira, terlalu banyak kontradiksi jika ambang batas pencalonan presiden 20 persen terus dipaksakan sebagai payung pelaksanaan Pilpres 2024. Di negara dunia yang menganut sistem presidensial, praktik yang lazim yang diterapkan adalah pemberlakuan ambang batas minimum bagi keterpilihan presiden.
Konteks pemberlakukan ambang batas bukan pada tahap pencalonan presiden, tetapi untuk menentukan persentase suara minimum untuk keterpilihan seorang presiden.
Jika dalam konteks Indonesia yaitu capres/cawapres harus mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia sebagai syarat dilantik sebagai Presiden/Wapres terpilih.
“Selain menerobos logika pemilu dan demokrasi, penerapan ambang batas 20 persen dalam pemilu yang digelar serentak ini, dimaknai publik hanya sebagai rule of game atau alat yang menentukan parpol mana saja yang boleh atau berhak mengusung capres/cawapresnya. Situasi seperti ini tentu tidak baik bagi perjalanan bangsa ini ke depan,” pungkas Fahira Idris.