Jumat,  22 November 2024

BOUY Rusak Bukti Rendahnya Literasi dan Mitigasi Bencana ke Masyarakat

Tori
BOUY Rusak Bukti Rendahnya Literasi dan Mitigasi Bencana ke Masyarakat
Ketua Umum DPP Bapera, Fahd El Fouz/dok DPP Bapera

RN - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sejak awal tahun hingga Jumat (9/12/2022) terdapat 3.332 bencana alam yang terjadi di Indonesia.

Berdasarkan data tersebut, sebanyak 563 orang meninggal dunia, 43 orang hilang, 8.694 luka dan 5.081.060 orang mengungsi. Terakhir adalah gempa bumi di Cianjur, Jawa Barat.

Ketua Umum DPP Barisan Pemuda Nusantara Fahd El-Fouz A Rafiq mengingatkan bahwa bencana alam sangat akrab dengan bumi Nusantara, bahkan menjadi siklus 20 tahun sekali. Sayangnya, literasi dan edukasi pada masyarakat terkait kegempaan dan mitigasi masih sangat rendah.

BERITA TERKAIT :
Gunung Merapi Muntah Lagi, 250 Kali Semburan Lava Panas  
Ancaman Gempa Megathrust Di Jawa Dan Sumatera, Bikin Merinding Aja

“Literasi kegempaan rendah dan mitigasi bencana yang buruk seperti Gempa Cianjur sampai harus menelan 334 korban tewas. Ini bukan mengkambinghitamkan, akan tetapi di sinilah kelemahan negara kita dalam mengelola bencana alam,” ujar Fahd kepada awak media, dikutip hari ini.

Mengutip data sejarah, Fahd mengungkap gempa Cianjur pernah terjadi sebelumnya yakni tahun 1982 dan 2000 silam. Adapun sumber gempa yang menimpa Cianjur pada tiga minggu yang lalu berada di zona sesar Cimandiri dan berkekuatan 6,7 skala richter. Dan BMKG pun telah menyatakan wilayah Cianjur sebagai kawasan rawan gempa bumi permanen yang sangat merusak dan tercatat sejak tahun 1844.

Padahal, jauh waktu sebelumnya tahun 2018 terjadi gempa di Palu, Sulawesi Tengah hingga memakan korban tewas sebanyak 4.340 jiwa atau yang terdahsyat, tsunami Aceh pada 2004 silam dengan korban tewas sekitar 224.000 jiwa.

“Bumi Nusantara ini kan berada di cincin api, zona seismik aktif, di mana lempengan berbeda kerak bumi bertemu. Kita yang dahulu pernah belajar geografi masa masa SMP dan SMA pasti tidak asing dengan kalimat ‘pertemuan lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia mempengaruhi Indonesia bagian barat’. Subduksi keduanya yang menyebabkan terbentuknya deretan gunung berapi di Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Sementara di bagian timur, kedua lempeng ini bertemu dengan Lempeng Pacific,” urai Fahd.

Mantan Ketum PP AMPG ini mengkritik kebiasaan orang Indonesia yang tidak hilang adalah ketika bencana alam datang kaget setelah responsif lalu lupa.

“Oalah, asli hal ini jangan dibiasakan apalagi berurusan dengan bencana alam yang berkaitan dengan nyawa manusia, zaman makin canggih harusnya gerak cepat dan bisa diantispasi. Secanggih apapun struktur kalau kultur belum tangguh akan sulit. Ingat budaya kita adalah pitutur. Pendekatan ke masyarakat jangan melupakan kultur ini,” tegasnya.

Karena itu, lanjut Fahd, kejadian gempa dan tsunami yang melanda Indonesia berturut-turut harusnya mampu dijadikan refleksi bagi pemerintah dan jajarannya untuk terus belajar.  

“Nyawa manusia sangat berharga. Kalau salah kelola maka akan banyak nyawa melayang. Ingat, alam selalu memberikan kode tersirat ketika akan ada bencana alam,” katanya.

Mantan Ketum DPP KNPI ini menyarankan, perlu adanya suatu zona sesar yang tidak terlalu luas untuk dijadikan kawasan hijau. Akan tetapi di sisi lain, ia melihat untuk penerapan zonasi rawan bencana tidak mudah terlaksana karena berbenturan dengan kepentingan lain.
Pada banyak kasus bencana di Indonesia, ironisnya penetapan zona rawan bencana dilakukan ketika ada kejadian.

"Ya, namanya daerah rawan harusnya tidak menjadi pemukiman penduduk. Ide ini perlu komitmen bersama. Misal, oke daerah ini nggak boleh dibangun karena daerah sesar, yang ini boleh. Seringnya yang terjadi di lapangan adalah kepentingan lebih kompleks dari sekedar kepentingan untuk pengurangan risiko bencana,” terang Fahd.

Menurut putra penyanyi dangdut A Rafiq itu, Jepang dan Indonesia menjadi negara yang paling sering mengalami gempa. Namun yang membedakan Indonesia dengan negeri sakura dalam hal teknologi gempa yang dimiliki dan aksi mitigasi. Jepang lebih cepat belajar dari gempa bumi yang sudah menerjang sejak ratusan tahun lalu.

Jepang punya BUOY yang bisa mendeteksi tsunami dan gempa yang beroperasi penuh, bahkan teknologinya terus di-upgrade dan sudah super canggih. Indonesia sendiri pasca-tsunami Aceh punya BUOY tetapi sesudah itu tidak bisa dioperasikan.

"Kami apresiasi pemasangan BUOY. Tetapi penting diingat peningkatan literasi dan mitigasi bencana kepada masyarakat harus linier sehingga pengrusakan BUOY yang dipasang pascatsunami Aceh tak terulang," terangnya.

Untuk memasang alat pendeteksi tsunami dan gempa dini di tengah laut yang apabila dicuri berarti kehilangan miliaran rupiah. Sekali lagi ia meminta masyarakat juga perlu digandeng dengan peningkatan melek informasi terkait gempa dan bencana alam lainnya, termasuk bagaimana menjaga dan merawat alat seperti BUOY. Sehingga, ke depan saat terjadi gempa atau bencana lain dapat meminimalisir korban sebagaimana telah dicontohkan Jepang.

“Mulai hari ini kesalahan-kesalahan di masa lalu jangan terjadi lagi khususnya soal penanggulangan gempa dan tsunami. Jangan biarkan nyawa masyarakat menjadi taruhan karena kelalaian kita yang tidak pernah belajar dari sejarah. Ingat salah satu tugas negara adalah menyelamatkan nyawa rakyatnya," kata dia.

Fahd menekankan gempa bumi yang melanda Cianjur bukan sekedar bencana alam lantas hanya dengan pemberian bantuan lalu selesai. Selain mitigasi dan sosialisasi kondisi Indonesia yang rawan akan gempa, menurut Fahd, alangkah baiknya pemerintah memprioritaskan pada pembenahan teknologi dengan alur deteksi yang lebih singkat.