Jumat,  22 November 2024

40 Juta Orang Ogah Coblos Capres-Cawapres, Suara Ganjar Kalah Lawan Golput

RN/NS
40 Juta Orang Ogah Coblos Capres-Cawapres, Suara Ganjar Kalah Lawan Golput
Ganjar dan Mahfud MD.

RN - Ganjar Pranowo-Mahfud MD bukan hanya kalah dari Prabowo-Gibran dan Anies-Cak Imin, tapi jago PDIP itu keok lawan golput. Totalnya ada 40 juta orang yang ogah memilih capres-cawapres.

Fenomena golput itu terjadi akibat kekecewaan masyarakat terhadap kondisi politik saat ini, baik terhadap figur politisi maupun kebijakan yang dihasilkan. 

Diketahui, data Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 mencapai 204.807.200 pemilih. Berdasarkan hasil penghitungan suara sah yang mencoblos ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden berada di angka 164.227.475 pemilih. 

BERITA TERKAIT :
Ganjar Masih Abu-Abu Hadiri Pelantikan Prabowo, Jangan-Jangan Belum Ikhlas?
Pelantikan Prabowo Bakal Dihadiri Ganjar Dan Anies, Tensi Politik Bakal Aman Dan Sejuk

Terdapat selisih 40 ribu suara lebih yang tidak menggunakan suara atau membuat suaranya tidak sah.

KPU menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menjadi pemenang Pilpres 2024. Nomor urut 2 itu mendapat suara 96.214.691 suara.

Nomor urut 1 Anies Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar sebanyak 40.971.906 suara. Dan nomor urut 3 Ganjar Prabowo dan Muhammad Mahfud Md sebanyak 27.040.878.

"Artinya dia menjadi partai sendiri golput di pemilu 2024 ini. Partai golput yang suaranya tinggi hingga 40 juta itu," kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin di Jakarta, Kamis (21/3/2024).

"Fenomena golput tembus 40 juta itu tentu menjadi sesuatu yang merugikan bagi masyarakat. Kenapa? Ya mungkin karena masyarakat Indonesia kecewa dengan politisi," ucap Ujang.

Menurut dia, salah satu kekecewaan masyarakat timbul akibat perilaku-perilaku para politikus yang cenderung tidak baik. Di mana, terkadang mereka membuat pernyataan seenaknya, mudah berpindah sisi dari oposisi ke koalisi atau sebaliknya, tidak konsisten antara pernyataan dan tindakannya, dan lain sebagainya.

"Saya melihat yang menyebabkan fenomena ini ya tentu adalah soal kekecewaan itu. Kekecewaan pemilih yang tidak memilih tersebut, kecewaan publik, kecewaan masyarakat kepada kondisi politik Indonesia. Karena kecewa itu, ya, tidak datang, tidak memilih," terang Ujang.