RN - Anggaran ratusan miliar yang diterima KPU Kota Bekasi dinilai mubazir. Sebab, penyelenggara pemilu itu gagal dalam mendorong partisipasi masyarakat untuk sadar memilih.
Gagalnya KPU karena partisipasi warga dalam Pilkada Kota Bekasi hanya 50 persen. Penilaian itu disampaikan Pemuda Kota Bekasi, Akmal Fahmi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (28/11/2024).
Menurut Akmal, KPU Kota Bekasi tidak punya strategi komunikasi dan pendekatan yang digunakan untuk menjangkau masyarakat dalam menggunakan hak pilih.
BERITA TERKAIT :RIDHO 48 Persen, Inikah Kiamat Kecil PKS Di Kota Bekasi
“Sosialisasi tentang hak pilih bukan sekadar memberikan informasi teknis mengenai pemilu, tetapi juga harus menyentuh aspek kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya partisipasi dalam demokrasi,” kata Akmal.
Akmal sangat menyayangkan kinerja KPU yang tidak maksimal dalam mensosialisasikan hak pilih terhadap masyakarat kota Bekasi, padahal anggaran digelontorkan mencapai Rp 113 miliar untuk pelaksanaan Pilkada Kota Bekasi.
“Kita ketahui bahwa Pemerintah Kota Bekasi telah mengalokasikan anggaran Rp 113 miliar untuk pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Bekasi 2024. Anggaran itu, diperuntukkan untuk KPU Kota Bekasi dan Bawaslu Kota Bekasi dengan target partisipasi pemilih mencapai 81 persen, tentunya anggaran tersebut tidak sedikit namun upaya KPU dalam memaksimalkan hak pilih masyakarat tidak maksimal, Hal tersebut menjadi sejarah buruk demokrasi di Kota Bekasi,” jelas Akmal.
“Kalau kita lihat tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada tahun 2018 yang mencapai angka 73 dengan anggaran Rp 48 miliar, maka sangat jauh dengan kondisi saat ini hanya mencapai 50 persen, lantas apa yang selama ini dikerjakan oleh KPU Kota Bekasi, harusnya dengan anggaran yang begitu besar bisa mencapai lebih tinggi partisipasi pemilih dibanding Pilkada sebelumnya,” sambung Akmal.
Akmal juga khawatir dengan anggaran yang begitu besar mencapai Rp 113 miliar untuk Pilkada disalahgunakan oleh pihak-pihak penyelenggara.
“TIngkat partisipasi yang lemah dalam Pilkada dapat memberikan berbagai dampak negatif, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan menciderai nilai-nilai demokrasi, dan pemimpin yang terpilih dapat dianggap memiliki legitimasi yang rendah jika hanya didukung oleh sebagian kecil masyarakat,” tandasnya.