RN - DPRD DKI Jakarta penikmat duit kasus lahan Rorotan, Jakarta Utara diminta siap-siap. Sebab, KPK sudah menemukan bukti adanya aliran duit ke Kebon Sirih.
Diketahui KPK tiga petinggi Totalindo Eka Persada (TOPS) menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tiga pentolan perseroan itu, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penjualan tanah di Rorotan, Jakarta Utara. Ketiganya, ditahan 20 hari sejak 18 September 2024 hingga 7 Oktober 2024 mendatang.
Tiga pengurus inti Totalindo Eka Persada terdiri dari Direktur Utama Donald Sihombing (DNS), Komisaris Saut Irianto Rajagukguk (SIR), dan Direktur Keuangan Eko Wardoyo (EKW). "Kami terus kembangkan. Ada dugaan aliran duit ke sana (DPRD-red)," tegas sumber di KPK, Senin (22/9).
BERITA TERKAIT :Eks Komisaris Jago Klaim Bidik RK, Kasak-Kusuk Demi Jabatan Baru
Ada Mantan Komisaris BUMD DKI Pemburu Jabatan, Jadi Kompor Serang Kiri Kanan
KPK sudah menemukan bukti bahwa badan usaha milik Provinsi DKI Jakarta itu, melakukan beberapa transaksi pembelian lahan di Rorotan dari sejumlah pihak.
“Berbeda perkara, berbeda lokasi lahannya, dan beda (pihak) swastanya,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto.
Tessa mengatakan, penetapan tersangka kasus ini menunggu hasil perhitungan kerugian negara.
Perkara baru ini diduga melibatkan PT CIP. Sebelumnya, KPK mengusut pengadaan lahan di Rorotan yang melibatkan PT TEP.
Direktur Penyidikan KPK, Brigadir Jenderal Polisi Asep Guntur Rahayu menerangkan kasus ini bermula pada Februari 2019. PT TEP berencana membeli 6 bidang tanah milik PT NKRE di Rorotan, Jakarta Utara.
Harga tanah seluas sekitar 11,7 hektare (Ha) itu ditetapkan Rp 950 ribu per meter persegi (m²).
Mekanisme pembayarannya lewat skema pembayaran utang PT NKRE kepada PT TEP dengan nilai transaksi Rp 117 miliar.
Lalu, pada 18 Februari 2019, PT TEP mengirimkan surat penawaran kerja sama pengelolaan lahan itu kepada PPSJ. Tanah yang masih atas nama PT NKRE itu ditawarkan dengan harga Rp 3,2 juta/m². Skemanya Kerja Sama Operasional (KSO) pengelolaan tanah bersama antara PT TEP dengan PPSJ.
“Kemudian direspons Saudara YCP dengan mengirimkan surat berminat atas penawaran tanah tersebut,” kata Asep.
Pada 1 Maret 2019, dilakukan rapat negosiasi harga tanah tersebut, yang dihadiri tersangka YCP dan tersangka DNS. Keduanya menyepakati harga tanah yang akan dilakukan KSO adalah Rp 3 juta/m2.
Padahal, PPSJ belum menunjuk Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai harga tanah tersebut. PPSJ juga belum melakukan kajian mengenai penawaran KSO dari PT TEP.
YCP dan ISA diduga tahu bahwa harga wajar tanah di Rorotan jauh di bawah harga yang ditawarkan PT TEP. Angkanya tak sampai Rp 2 juta/m2.
Informasi harga wajar disampaikan KJPP. “Namun YCP mengabaikan hal tersebut,” kata Asep.
Skema KSO ternyata tidak disetujui Dewas PPSJ. YCP lantas diubah menjadi skema beli putus tanah. Kemudian ada penambahan luas tanah 0,6 Ha, sehingga total luasnya 12,3 Ha. Total harga yang dibayarkan Rp 370 miliar.
Pada 23 Februari 2021, baru dilakukan penandatanganan enam Akta Jual Beli antara PT TEP dengan PPSJ atas tanah seluas 12,3 Ha itu.
Asep menyebut, tersangka YCP menentukan lokasi lahan Rorotan yang akan dibeli secara sepihak. Penentuan itu tanpa didahului kajian teknis yang komprehensif. Kondisi lahan berawa membutuhkan biaya pematangan yang cukup besar sebelum bisa digunakan.
Selain itu, kondisi lahan tidak memenuhi kriteria teknis lahan Rumah Susun Sederhana (Rusuna), sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 Pergub DKI 27/2009 tentang Pembangunan Rusuna.
Asep mengemukakan, tersangka YCP diduga menerima Rp 3 miliar dalam bentuk dolar Singapura untuk memuluskan transaksi ini. Juga mendapat fasilitas berupa kemudahan saat menjual aset pribadinya. Asetnya berupa satu rumah dan saru unit apartemen segera dibeli pegawai PT TEP.
Pembeliannya atas instruksi tersangka EKW, yang sumber dananya dari kas PT TEP dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset itu.
Sebelumnya, pengadaan tanah oleh PPSJ di Rorotan ini sempat menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Temuan itu dituangkan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2023 melalui laman resminya.
BPK memberikan sejumlah rekomendasi kepada Dirut Sarana Jaya untuk menindaklanjuti temuannya itu. Terkait hal tersebut, manajemen dan direksi PPSJ yang baru menyatakan bakal menindaklanjuti rekomendasi dari BPK.
Sementara Boaz Dody Farulian, Head of Corporate Secretary Division Totaling Eka Persada sebelumnya menyatakan, kalau asus tersebut tidak berdampak negatif terhadap operasional, dan keuangan perseroan.
Di mana, sampai 20 September 2024 kelangsungan proyek masih berjalan normal. Untuk keputusan yang sebelumnya dikelola direktur tersebut, perseroan akan memberikan kuasa kepada direktur lain.
Nah, untuk mencegah kasusnya terulang di masa mendatang, perseroan akan terus berupaya untuk menerapkan tata kelola perusahaan secara baik. ”Perseroan telah melakukan investigasi terhadap kasus tersebut,” imbuhnya.