RN – Hujan deras kembali menguji janji para pembangun kota. Lapangan padel di kawasan Meruya, Kembangan, Jakarta Barat, yang katanya sudah sesuai standar justru tumbang lebih dulu dari aturannya pada Minggu, (26/10).
Beruntung, tak ada korban jiwa. Tapi publik tahu, dalam urusan pembangunan di Jakarta, “tidak ada korban” sering kali berarti belum ada yang menuntut.
Kini, Suku Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (Citata) Jakarta Barat tengah mengusut kesesuaian antara gambar rencana dan kenyataan di lapangan.
BERITA TERKAIT :304 Warga Bekasi Jadi Korban Amukan Cuaca Ekstrem
“Kalau perencanaannya kayaknya sudah bener, kita mau nanya nih, jaminannya bagaimana? Apakah struktur itu benar dikerjakan seperti perencanaan atau tidak?,” ujar Kepala Sudin Citata, Heru Sunawan, Rabu (29/10).
Pertanyaan yang justru menggiring ke masalah lama, kenapa baru ditanya setelah atapnya runtuh? Padahal, lapangan tersebut sudah mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) — dokumen yang seharusnya menjadi bukti bahwa perhitungan kekuatan, struktur, dan keamanan bangunan telah disetujui oleh Tim Profesi Ahli (TPA).
Dengan kata lain, di atas kertas semuanya sempurna. Tapi seperti banyak proyek lain di Jakarta, yang kuat hanyalah dokumennya, bukan bangunannya.
Citata menduga ambruknya atap bukan karena rancangan yang salah, melainkan karena pelaksanaan di lapangan yang tak sesuai standar.
Mereka kini berencana meninjau ulang lokasi bersama tim profesi ahli yang sama, tim yang dulu juga meloloskan desain awal.
Langkah ini menimbulkan tanya baru di mata publik, apakah penilai yang sama bisa objektif saat mengoreksi pekerjaannya sendiri?
Peristiwa ini menambah daftar panjang kasus di mana izin dan pengawasan hanya berfungsi sampai tinta tanda tangan kering.
Sementara di lapangan, bangunan tumbuh cepat, tapi kualitasnya sering ambruk di bawah hujan pertama.
Jakarta tak kekurangan izin, tapi selalu kekurangan tanggung jawab.
Populer Berita
