RADAR NONSTOP- Kasus jual beli Buku-buku paket oleh sejumlah SMA di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) terus bergulir.
Kali ini terungkap, ternyata buku yang diperjualbelikan kepada siswa adalah buku nonteks atau buku penunjang.
Ketua Jaringan Pemantau Pendidikan(JPPI) Ubaid Matraji menyoroti dugaan banyaknya sekolah yang menjadikan buku nonteks menjadi buku yang wajib dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
BERITA TERKAIT :GMNI Jaksel Bedah Buku Komunikasi Poltik, Aktivisme dan Sosialisme Bagi Anak Muda
Buku Bela Negara Meluncur di Kampus UPN Veteran Jakarta, Ini Ulasannya
Menurut Ubaid buku-buku nonteks itu tidak harus diperjualbelikan, karena buku-buku tersebut juga dapat dengan mudah diakses dilaman Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk).
Kata dia, dengan Puskurbuk tidak ada anak yang punya masalah dengan tidak mampu beli buku, aneh jika ada sekolah mewajibkan beli LKS, beli buku, yang merupakan akal-akalan pihak sekolah untuk mencari keuntungan. Ia menyebut kasus itu seperti maling yang permisi.
“Jadi buku yang sudah Puskurbuk itu, itu lah sumber belajar oleh sekolah, dan siswa nggak perlu bayar, kalau bayar berarti ada pungli. Yang non teks hukumnya sunah, kalau menjadi wajib berarti pungutan, yang nggak boleh pungutan, kalau sumbangan boleh, buku skunder, kalau diwajibkan untuk seluruh siswa beli buku menjadi pungutan, tapi kalau nggak beli terselah luh, bebas aja,” tuturnya.
“Kemudian, adanya program kartu pintar, BOS itu agar tidak ada pungutan lagi disekolah itu, jadi anak itu bermodalkan kemauan saja sekolah itu, adanya BOS dan lain sebagainya untuk menggilangkan itu semua,” saat ditemui dikawasan Pamulang, Senin (26/8/2019).
Sementara, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Provinsi Banten Engkos Kosasih Samhudi menjelaskan, bahwa buku yang mendapat alokasi anggaran Bantuan Oprasional Sekolah (BOS) adalah buku teks sebagaiman sudah diatur dalam Peraturan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Namun, dirinya pun mengatakan tidak ada larangan untuk pembelian buku penunjang.
“Buku penujang masih dibolehkan dalam ketentuan untuk refrensi guru-guru tambahan belajar, itu tidak salah tapi jangan dibalik, jangan buku penunjang jadi wajib, buku wajib tidak dipake. Boleh membeli buku tapi buku penunjang, refrensi guru mata pelajaran,
Ketiga, Kepala sekolah tidak mengharuskan atau membuat surat edaran untuk membeli buku,” katanya, saat menyikapi adanya prektek jual beli buku di SMA 6 Kota Tangsel.
“Buku yang wajib namanya buku teks menurut Permendikbud, judul bukunya, percetakannya. Dianggarkan dari BOS 20 persen, alokasi anggaran sekolah, kalau anggaran 100 juta 20 persennya 20 juta, jadi 20 juta untuk pengadaan buku, teknis itu segala macam itu Kepsek dengan Kantor Cabang Daerah (KCD) Dindikbud,” sambung Engkos, di kantor Dindikbud, di Kawawsan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Senin (26/8/2019).