RN - Kemenko PMK) kembali mendorong dilakukannya revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
Kemenko PMK mengklaim revisi PP tersebut sejalan dengan Perpres 18/2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 yang menargetkan turunnya perokok usia 10-18 tahun dari 9,1 perssen menjadi 8,7 persen.
Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah perokok anak di Indonesia terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Prevalensi perokok anak telah mengalami penurunan dari 9,1 persen di tahun 2018 menjadi 3,81 persen di tahun 2020, tahun 2021 bahkan turun lagi menjadi 3,69 persen.
Oleh sebab itu, rencana revisi itu ditolak oleh berbagai kalangan, termasuk pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) lantaran PP 109/2012 tersebut masih relevan untuk diterapkan pada saat ini. Di sisi lain, pemerintah dianggap belum mengoptimalkan penegakan hukum yang berlaku dalam aturan tersebut.
BERITA TERKAIT :Jual Rokok Per Batang Dilarang, Ahli Hisap: Sama Aja Kita Disuruh Paru-Paru
Cukai Rokok Naik Terus, Ahli Hisap: Kita Beli Rokok Lintingan Aja
"Kami melihat bahwa PP 109/2012 masih sangat relevan untuk mengendalikan rokok, karena di situ sudah ada pengaturan-peraturan larangan penjualan. Kemudian, terkait pembatasan iklan, kemasannya juga sudah ada peringatan bahaya kesehatan," kata Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta.
Ketimbang merevisi, Benny mengimbau agar pemerintah lebih gencar dalam menyosialisasikan PP 109/2012 kepada para penjual rokok.
"Kalaupun mau direvisi sebenarnya dilakukan dulu evaluasi, di mana menjalankan aturannya secara optimal. Karena menurut kami yang jadi masalah soal penerapannya. Banyak yang tidak tahu bahwa penjualan rokok itu diatur. Kemudian juga masalah penegakan hukum, itu juga belum ada," ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah lebih baik gencar mengedukasi para penjual agar bisa menurunkan angka perokok anak di bawah umur, seperti selama ini dilakukan pihaknya.
"Kami justru lakukan sosialisasi kampanye bahwa rokok bukan produk untuk anak. Pemerintah ada, enggak? Kami juga paham dilarang menjual rokok di bawah 18 tahun. Kadang penjualnya yang tidak paham terkait larangan dari pemerintah, saking tidak tahunya dan tidak tersosialisasi," ujarnya.
Benny mengingatkan revisi tidak dilakukan secara terburu-buru, karena harus melalui kajian bersama antara Kemenko PMK dan Kemenko Perekonomian.
"PP 109/2012 itu berdampak kepada sektor perekonomian, jadi kalau ada uji publik mestinya berimbang, jadi dibahas dua Menko. Tidak bisa satu pihak saja. Dulu waktu PP 109 disahkan tahun 2012 dilakukan rapat gabungan antara Menko Kesra Agung Laksono dan Menko Perekonomian Hatta Radjasa," terang dia.
Sementara itu, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian Atong Soekirman menilai PP 109/2012 juga masih sangat relevan untuk digunakan saat ini.
"(PP 109/2012) masih sangat efektif dan relevan, cuma yang belum dilakukan adalah inplementasi di lapangan. Peraturannya sudah bagus dan cukup ketat, tinggal implementasi yang perlu dievaluasi. Nah sekarang, bagaimana evaluasinya, ini kan belum pernah dilakukan. Jadi tidak lantas langsung diubah kalau dianggap tidak efektif," kata Atong.
Menurut Atong, Kemenko PMK tidak bisa merevisi PP 109/2012 secara sepihak. Pasalnya, proses pembuatan PP harus berkoordinasi dengan kementerian lainnya.
"PP itu kan peraturan pemerintah yang harus dievaluasi. Ini merupakan peraturan pemerintah yang tingkatannya di bawah undang-undang, tentunya harus ada formalitas yang harus (dilalui), direvisi tidak sepihak begitu saja," tegasnya.
Ia menyebut, dalam merevisi sebuah PP itu tidak bisa karena ada desakan dari pihak tertentu kepada pemerintah. Namun, melalui pembahasan dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat.
"Jadi mengubah PP itu tidak semudah seperti yang dibayangkan. Karena ada satu pihak yang ingin berubah terus diubah. Ini kementerian, enggak bisa didesak dengan kepentingan sepihak, karena kami mencoba melihat kepentingan baik sektoral, Kementerian maupun para stakeholder sekitar dari industri, petani, juga di sisi dari kepentingan kesehatan," kata dia.