Jumat,  22 November 2024

Logika Mistik dan Capres Oligarki

Tori
Logika Mistik dan Capres Oligarki
Arief Gunawan/Ist

KENAPA kita terjebak dalam kesalahan memilih pemimpin, sehingga hari ini negara berantakan, dekadensi moral di kalangan elit kekuasaan makin bejat, dan penghargaan kepada nyawa manusia sedemikian rendah?

Karena umumnya kita masih percaya kepada logika mistika. Yaitu cara berpikir yang dipengaruhi oleh hal-hal yang serba tidak masuk akal.

Sehingga misalnya orang masuk gorong-gorong dikultuskan sebagai Ratu Adil. Tanpa diketahui rekam jejaknya dalam demokrasi, hak asasi manusia, keberpihakannya kepada rakyat, dan kapasitasnya untuk jadi pemimpin.

BERITA TERKAIT :
Mau Poles Citra, Bea Cukai Sewa TikToker Untuk Bikin Video Positif 
Meski Kecewa Mahfud Terima Keputusan MK

Kenapa bisa terjadi? Ratu Adil masuk gorong-gorong yang kemudian dikultuskan selain sebagai hasil manipulasi pollsterRp, juga dipengaruhi oleh efek feodal dan kolonial yang menjauhi kita dari berpikir kritis dan logis.

Saat ini kita mencanggih-canggihkan rekrutmen calon presiden berdasarkan standar yang mudah dimanipulasi, seperti 'kesederhanaan', 'kesantunan', 'gaya sok merakyat' yang dibungkus pencitraan dengan tendensi hipokrit.

Raja-raja despot di Nusantara dulu juga mencanggih-canggihkan diri dengan membangun mitos dan menulis sejarah dalam pujasastra untuk menutupi kegagalan. Sehingga jadi dongengan indah belaka.

Tentang mitos dalam sejarah, Tan Malaka memperingatkan: “Riwayat Indonesia tidak mudah dibaca. Apalagi dituliskan. Riwayat negeri kita penuh dengan kesaktian, dongengan-dongengan, karangan-karangan dan pertentangan. Kita terpaksa mengakui bahwa kita tak pernah mengenal ahli riwayat yang jujur. Paling banter kita cuma mempunyai tukang-tukang dongeng, penjilat-penjilat raja yang menceritakan berbagai macam keindahan dan kegemilangan, supaya tertarik hati si pendengar…”

Di masa feodal Tanam Paksa (1830-1870) standar dan rekrutmen kepemimpinan ditentukan oleh birthright.

Yaitu semacam hak lahir yang diberikan oleh para pembesar Belanda untuk bupati yang berhasil memenuhi target komoditi ekspor di daerahnya. Sehingga kroni dan keturunan mereka mendapat hak untuk meneruskan jabatan secara turun-temurun.

Di era sekarang oligarki memakai cara yang sama dan jadi penentu calon presiden. Sehingga menghasilkan pemimpin boneka (marionet leider) yang menghasilkan olok-olok, penderitaan rakyat, dan tingkah-polah planga-plongo, yang tatkala berhadapan dengan masalah lari bersembunyi di balik kebohongan.

VOC esensinya juga oligarki. Mereka datang ke Nusantara terutama bukan dengan invasi senjata, melainkan dengan melakukan konsesi dan perjanjian dengan raja-raja atau pangeran yang bersedia dijadikan boneka.

Sampai abad 19 Belanda tidak mendominasi seluruh wilayah Nusantara. Namun finansial mereka jauh lebih kuat. Lemahnya sektor ekonomi dan finansial kerajaan-kerajaan tradisional waktu itu membawa kemajuan bagi praktek kolonialisme.

Aspek kemiskinan yang melanda negeri ini sekarang lebih bersifat multidimensi. Berkombinasi dengan kemiskinan moral para elit kekuasaan.

Situasi ini menyuburkan figur-figur capres khayali, persis seperti era kolonial. Yang memanfaatkan situasi krisis dengan menjual mimpi-mimpi, mencanggih-canggihkan diri melalui pencitraan bagaikan Ratu Adil.

Oligarki adalah reinkarnasi kolonialisme yang kini menjarah negara melalui tangan-tangan para taipan dan para cukong.

Untuk melanggengkan proyek ini mereka gunakan partai politik, pollsterRp, media massa berbayar, dan buzzersRp, guna menghasilkan capres boneka.

Penguasa boneka delapan tahun terakhir ini 'prestasinya' ternyata hanya membangun United Oligarchy.

Yaitu menyatukan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, untuk merusak demokrasi, prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan konstitusi.

Saat dikritik berlagak cool, tapi di belakang mengerahkan buzzersRp untuk menyerang tokoh yang menyampaikan kebenaran


Arief Gunawan
Pemerhati Sejarah