RN - Gaduh soal UU TNI dinilai salah alamat. Sebab dalam UU TNI diyakini tidak ada upaya untuk menghidupkan kembali peran sosial politik para prajurit.
Hal ini ditegaskan mantan aktivis gerakan mahasiswa Pro Demokrasi Yogyakarta, Supriyanto dalam siaran pers kepada wartawan, Jumat (22/3) malam.
Antok Gajah sapaan akrab Supriyanto memberikan apreasiasi pada pimpinan DPR di bawah pimpinan ketua, Puan Maharani dan wakil ketua, Sufmi Dasco Ahmad.
BERITA TERKAIT :Operasi Batok Jelang Lebaran Di Jakarta, Ponsel DPRD Dan Pejabat Tulalit
Operasi Pasar Jangan Pencitraan Karena Daya Beli Anjlok, Tumben Puan Bicara Keresahan Rakyat
“Mbak Puan dan Bung Dasco bisa menangkap kegelisahan sebagian masyarakat tentang kekhawatiran kembalinya Dwi Fungsi ABRI, tetapi sampai disahkan RUU menjadi UU sangat akomodatif dan melakukan dialog dengan sejumlah LSM dan akademisi yang tadinya menolak kini bisa menerima,” ujarnya.
Diketahui, revisi UU TNI telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang digelar di Gedung Nusantara II DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). Rapat dipimpin Ketua DPR Puan Maharani didampingi Sufmi Dasco, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.
Sementara dari pihak pemerintah, hadir Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Wamenkeu Thomas Djiwandono, hingga Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.
Antok yang dokenal sebagai aktivis kelompok pro demokrasi dari Gang Rode Yogya ini menyatakan keberadaan revisi UU TNI bukan untuk mengembalikan peran dan fungsi TNI seperti Dwi Fungsi ABRI pada masa Orde Baru. "Tetapi untuk membatasi peranan TNI diluar operasi militer selain perang," tegas mantan Ketua Umum Serikat Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogya ini.
Faktanya kata dia, tidak tidak ada pengembalian Dwi Fungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru. Tidak ada peran militer TNI aktif dalam sosial politik, tidak ada pengembalian Fraksi TNI DPR atau DPRD yang diisi tentara aktif tanpa melalui proses pemilihan umum.
"Dan tidak ada lembaga ekstra yudisial seperti Bakorstanas dan Bakorstanasda yang bisa menangkap menahan dan mengadili orang. Tidak ada juga TNI aktif bisa menduduki jabatan publik seperti Gubernur Wakil Gubernur Bupati Wakil Bupati dan Walikota Wakil Walikota," bebernya.
Jabatan Sipil
Antok juga membantah adanya jumlah jabatan sipil yang bisa diisi oleh TNI bertambah adalah bagian dari dwifungsi. Karena hal tersebut tetap dalam batas kewajaran dan tidak mengembalikan dwifungsi ABRI.
"Pada pasal 47, Kementerian/Lembaga yang Bisa Diisi TNI. Dalam pasal 47, ada penambahan 4 posisi jabatan publik yang bisa diisi TNI aktif dari sebelumnya 10 kini menjadi 14," ungkapnya.
"Salah satu poin positif dalam revisi ini adalah penegasan bahwa Panglima TNI tetap berada di bawah Presiden, sebagaimana telah diatur dalam TAP MPR sebelumnya. Selain itu, aturan juga semakin memperjelas bahwa anggota TNI yang ingin menduduki jabatan sipil di luar 14 kementerian/lembaga yang sudah disepakati harus mengundurkan diri atau pensiun dini," tambah Antok.
Antok melanjutkan jika masih ada yang teriak-teriak menolak UU TNI karena mengembalikan dwifungsi ABRI padahal faktanya tidak jelas dan kelompok tersebut hanya mengadu domba masyarakat.
"Mengganggu jalannya pemerintah dan anti demokrasi karena memaksakan kehendak segelintir orang di atas kepentingan orang banyak," tuding Antok.