Minggu,  08 September 2024

Budi Awaluddin Dituding Spesialis Tukang Depak, Cleansing Guru Honorer DKI Bermotif Politik?

RN/NS
Budi Awaluddin Dituding Spesialis Tukang Depak, Cleansing Guru Honorer DKI Bermotif Politik?
Edisi cetak Radar Nonstop.

RN - Aksi cleansing terhadap guru honorer di Jakarta terindikasi politik. Ada dugaan gerakan yang dilakukan Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta terkait pemilihan gubernur (pilgub) yang akan digelar 27 November 2024.

Apalagi, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta dijabat Budi Awaluddin. Dari catatan wartawan, aksi Budi terbilang sukses soal penghapusan Nomor Induk Kependudukan (NIK). 

Diketahui, Budi juga menjabat sebagai Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta. Dari penghapusan atau nonaktif NIK, ada sekitar 92 ribu yang kena dampak.

BERITA TERKAIT :
Gaji Guru Honorer Cuma 250 Ribu Per Bulan, Adik Kandung Prabowo Janji Dongkrak 
Cleansing Gaduh, Disdik DKI Pakai Istilah Diredistribusi Agar Guru Honorer Diam 

Nah, jika cleansing atau depak terhadap guru honorer mulus maka ada sekitar 4.000 orang yang terdampak. "Pak Budi ini bisa kita sebut 'Spesialis' Tukang Depak?. Sukses di NIK kini merambah ke guru honorer," sindir pengamat politik Adib Miftahul dalam siaran pers-nya, Sabtu (20/7) malam. 

Adib menduga Budi terkesan ada titipan politik menjelang pilkada. "Mungkin dan diduga cleansing untuk menghapus jejak gubernur sebelumnya. Kalau ini benar namanya gak fair karena mengorbankan para pejuang pendidikan bisa saja terkait Pilkada DKI," tudingnya.

Seorang guru honorer yang terkena dampak cleansing mengaku, kalau dirinya diberhentikan secara lisan. "Kami ini hanya guru dan gak tau politik-politikan. Tugas kami hanya mencerdaskan anak bangsa," bebernya.

Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru atau P2G Iman Zanatul Haeri sebelumnya mengatakan pihaknya menerima 107 laporan terkait guru honorer di DKI Jakarta yang mengalami cleansing.

Para tenaga pengajar itu berasal dari berbagai jenjang, baik sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA). 

“Kami contohkan di DKI Jakarta, laporan yang masuk ada 107 guru yang kena cleansing. Disdik (Dinas Pendidikan) mengatakan kalau kena itu yang tidak punya Dapodik (Data Pokok Pendidikan) dan NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan). Ada 76 persen, lebih dari setengahnya mengaku sudah punya,” kata Iman di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Rabu, 17 Juli 2024. 

Sementara Budi Awaluddin menyebut kebijakan cleansing dilakukan karena pengangkatan guru honorer diklaim tanpa seleksi yang jelas. Dia menuturkan bahwa pihaknya sudah menginformasikan kepada kepala sekolah sejak 2017 hingga 2022 untuk tidak merekrut guru honorer, tetapi masih banyak kepala sekolah yang nekat. 

“Kondisinya adalah guru honorer ini diangkat oleh kepala sekolah, yang dibayar oleh dana BOS (bantuan operasional sekolah) tanpa seleksi yang jelas,” ucap Budi melalui saluran telepon kepada Tempo, Rabu, 17 Juli 2024. 

Menurut Budi, sebenarnya para tenaga pengajar yang direkrut mandiri oleh kepala sekolah tidak banyak, hanya sekitar satu atau dua orang di masing-masing sekolah. “Namun karena jumlah sekolahnya banyak, kan jadi banyak (guru honorernya). Mereka juga memberikan gaji yang tidak manusiawi,” ujar Budi. 

Dia mengklaim apa yang dilakukan Disdik DKI Jakarta sebenarnya untuk memanusiakan manusia. Hal itu disebut sebagai upaya penertiban dan agar perekrutan guru honorer yang lebih jelas, termasuk pemberian gaji sesuai standar. 

Budi pun merinci empat kriteria guru honorer yang memperoleh gaji dari dana BOS, yaitu bukan aparatur sipil negara (ASN), terdata di dalam Dapodik, memiliki NUPTK, dan tidak menerima tunjangan guru. Namun, dari keempat kriteria itu, mereka yang terdampak cleansing adalah guru honorer yang tidak terdata di Dapodik dan tidak mempunyai NUPTK. 

DPR Teriak 

Protes keras juga diungkap Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf. Dia mengkritik kebijakan pemecatan seratusan guru honorer di DKI Jakarta secara sepihak melalui sistem 'cleansing' atau 'pembersihan'. 

Dia menilai cara tersebut kurang humanis. "Cleansing itu kata yang terlalu sadis, cleansing itu kan pembersihan atau seperti membasmi. Itu tidak boleh," kata Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf, dalam keterangannya, Jumat (19/7/2024).

Mengenai hal itu, Dede meminta agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) harus segera beri klarifikasi. Selain itu, Kemendikbudristek juga harus menjadi fasilitator terhadap pihak-pihak terkait.

"Kemendikbudristek harus segera mengklarifikasi dengan Dinas Pendidikan Jakarta. Dari informasi yang saya terima, ini adalah Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) BPK," tuturnya.

Dede pun menyoroti perbedaan aturan dari Disdik Jakarta yang mengharuskan guru untuk mengajar sebanyak 35 jam per minggu. Sedangkan Kemendikbudristek hanya mengharuskan guru honorer mengajar 24 jam per minggu. Hal itu yang kemudian menjadi temuan BPK.

"BPK melihat pembayaran guru-guru yang mengajar kurang dari 35 jam per minggu. Temuan ini bisa diselesaikan dengan mengatur pola jam mengajar," jelas Dede.

Lebih lanjut, Dede mengingatkan bahwa pemberdayaan profesi guru harus diselenggarakan melalui pengembangan diri yang berkeadilan dan berkelanjutan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) sesuai amanat Pasal 7 Ayat 2 UU No 14 tentang 2005 tentang Guru dan Dosen.

"Kita berbicara tentang nasib lebih dari 100-an lebih guru yang sudah berjasa terhadap pendidikan anak-anak kita. Semestinya Pemda lebih bijaksana, tidak asal main cut seperti itu," lanjut Dede.

Sebelumnya, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menceritakan kronologi pemutusan kontrak kerja guru honorer di Jakarta. Pemutusan itu terjadi saat sekolah memulai tahun ajaran baru.

"Pada 5 Juli, hari Jumat. Itu ada guru anggota kami P2G di Jakarta mendapat pesan WhatsApp dari kepala sekolahnya, bahwa sekolah itu sudah tidak menerima honorer lagi. Si guru ini dinyatakan tidak bisa ngajar lagi kira-kira gitu, cuma bahasanya halus," kata Iman saat dihubungi, Selasa (16/7).

"Dia dibilang sudah tidak bisa mengajar lagi, di hari pertama tahun ajaran baru tersebut, plus diberikan broadcast dari kepala sekolah tersebut kepada guru honorer. Setelah diumumkan mereka tidak boleh lagi mengajar, mereka disuruh mengisi formulir cleansing tersebut. Ibaratnya kayak ditembak, disuruh gali kuburan sendiri," sambungnya.