RADAR NONSTOP - Rumah di Jalan Sultan Agung Gang Rode No 610, Yogyakarta, sudah tidak asing. Dari sinilah, muncul para aktivis gerakan.
Dari Rode jugalah muculnya gerakan anti Soeharto hingga Orde Baru tumbang. Kini rumah yang dijadikan markas para aktivis itu bakal ditetapkan sebagai cagar budaya.
BERITA TERKAIT :Setyo Budiyanto Jadi Ketua KPK, Bakal Geber OTT Ke Koruptor
Member Superstar Fitness Merasa Kena Tipu, Bakal Sita Alat Gym Untuk Tutupi Kerugian
Janji ini disampaikan Dr Hilmar Farid, sejarahwan yang juga menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan Kementrian Pendidikan Nasional.
Diketahui, Rumah Rode sampai kini masih menjadi basis aktivis gerakan mahasiswa. Bahkan, posisi bangunan hingga kini tetap tidak berubah.
Di rumah inilah menjadi tempat diskusi dan belajar politik para aktivis mahasiswa di Yogyakarta dan kota besar di Indonesia.
Eko Sulistyo, Deputi IV Kantor Staff Presiden RI mengatakan keberadaan rumah Rode ini satu-satunya yang ada di Indonesia. Aktivitas mahasiswa dan rumah menyatu dalam sebuah dinamika politik selama 30 tahun lamanya melakukan regenerasi.
"Saya dulu dari solo selalu mampir ke rumah ini kalau ada konsolidasi gerakan melawan rezim Orde Baru," ujar Eko yang dulu aktivis mahasiswa UNS Surakarta dalam siaran persnya, Senin (19/11/2018).
Budiman Sudjatmiko menyatakan, rumah Rode mempunyai kenangan tersendiri. "Saya belajar politik di Rumah Rode sejak SMA dan awal masuk kampus UGM. Rode menjadi tempat baca buku, diskusi, rapat aksi demonstrasi sampai melakukan advokasi buruh dan petani," terang anggota DPR ini.
Mantan Ketua KPK, Busyro Muqodas mengaku, penghuninya sebagian besar mahasiswa UII. "Saya kenal di kampus selalu kritis dan cenderung ugal-ugalan tapi saya salut nilai akademik intelektual mereka di atas rata-rata mahasiswa lainnya," bebernya.
Ifdhal Kasim, mantan Ketua Komnas HAM RI dan kini menjadi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI merupakan penghuni dari generasi pertama rumah rode saat masih menjadi aktivis mahasiswa UII tahun 1988.
"Saya rasa tidak berlebihan jika Rumah Rode ditetapkan menjadi cagar budaya oleh pemerintah, ujarnya.
Sementara Ketua Umum Seknas Jokowi, Muhammad Yamin yang juga jebolan Rode mengaku, gerakan intoleran yang mengancam demokrasi serta politik yg menghalalkan berbagai macam cara seperti menyebar berita hoax dan fitnah hingga menjadi gaduh adalah kemunduran.
"Seperti meributkan politik sontoloyo itu merupakan kemunduran dalam kehidupan politik kita saat ini, terang Wakil Direktur Relawan TKN Jokowi Ma'ruf Amin ini.
Dalam penutupan acara Rembug Nasional Gerakan Pro Demokrasi dalam rangka 30 tahun RODE Rumah Perjuangan, para aktivis juga mendoakan para pejuang demokrasi dan HAM yang sudah wafat. Mereka adalah Adnan Buyung, Mulyana Kusumah, mahasiswa korban peristiwa Tri Sakti dan Semanggi serta Wiji Tukul.
Ketua Panitia Rembuk Nasional 30 Tahun Rode, Suprianto Antok mengatakan, setiap dua tahun sekali kelompok Rode dari periode awal sampai generasi zaman now selalu mengadakan pertemuan.
"Selain bersilaturahmi seperti layaknya keluarga besar sambil mendiskusikan situasi politik nasional.